NBC — Apa jadinya jika baluse
atau perisai khas Nias terbuat dari baki telur atau egg tray?
Itulah hasil karya ilmiah tiga siswa SMP Negeri 4 Gunungsitoli yang keluar
sebagai pemenang pertama dalam Lomba Karya Ilmiah Tingkat SMP se-Kota
Gunungitoli 2014. Pada lomba yang digelar Dinas Pendidikan Kota Gunungsitoli
untuk memperingati Hari Guru 2014 tersebut, mereka berhasil memukau dewan juri
saat mempresentasikan hasil karyanya, Senin (24/11/2014), di Aula SMA Negeri 1
Gunungsitoli.
Pemanfaatan
limbah baki telur sebagai bahan utama baluse bukan tanpa alasan. Diva
Kartika Anne Zendratõ, Guspriaman Warasi, dan Theo Ikrar Chamötödödö Harefa
tidak hanya memanfaatkannya untuk kreativitas, tetapi juga menyiasati
mahalnya harga baluse yang terbuat dari kayu.
“Kami punya
kegiatan seni di sekolah, salah satunya menggunakan baluse. Untuk
memperoleh
baluse yang bagus tentu harganya mahal, minimal kami harus mengeluarkan uang Rp 300.000. Setelah berdiskusi bersama anak-anak, kami mencoba mencari alternatif lain, bagaimana membuat baluse dengan biaya terjangkau. Setelah dicari tahu, ketemulah dengan egg tray atau baki kemasan telur ini sebagai bahan baku utama,” tutur Firman Lase, S.Si, guru pembimbing dalam pembuatan baluse tersebut.
baluse yang bagus tentu harganya mahal, minimal kami harus mengeluarkan uang Rp 300.000. Setelah berdiskusi bersama anak-anak, kami mencoba mencari alternatif lain, bagaimana membuat baluse dengan biaya terjangkau. Setelah dicari tahu, ketemulah dengan egg tray atau baki kemasan telur ini sebagai bahan baku utama,” tutur Firman Lase, S.Si, guru pembimbing dalam pembuatan baluse tersebut.
Lalu,
seperti apa cara pembuatannya? Inilah penjelasan Diva, Guspriaman dan Theo
dalam presentasinya.
Baki
telur dipotong-potong kecil lalu dimasukkan ke dalam baskom besar.
Kemudian, masukkan air hingga setinggi tumpukan potongan-potongan bahan. Tambahkan
kapur sirih yang berfungsi mengurangi bau amis rendaman baki
telur tersebut. Perendaman dilakukan selama tiga hari hingga baki
telur lunak. Selama masa tersebut, air harus terus ditambah agar baki
telur tidak kering.
Setelah tiga
hari, masukkan rendaman baki telur ke dalam blender, tambahkan air dengan
perbandingan 2:1 serta masukkan 1 sendok lem PVac. Blender semua bahan
hingga halus atau berbentuk pulp (bubur kertas) dan tercampur dengan
baik, selama satu menit. Lakukan ini berulang-ulang sampai jumlah pulp
yang dibutuhkan terpenuhi.
Bubuk
kerta dimasukkan ke dalam ember dan setelah semuanya selesai diblender,
kurangi kadar airnya dengan membuang air yang tergenang di atas campuran. Pulp
kemudian dimasukkan kedalam cetakan baluse yang sudah disiapkan lalu
dikeringkan dengan cara dijemur di sinar matahari langsung. Pengeringan
membutuhkan waktu sekitar 12 hari. Setelah kering, keluarkan baluse dari
cetakan, rekatkan ornamen-ornamen sebagai hiasan, dempol bagian yang masih
berpori, dan setelah itu divernis agar daya serap airnya rendah.
Karena
terbuat dari limbah kertas, tentunya baluse ini tidaklah sama dengan
buatan kayu yang kuat dan memiliki ukiran tertentu. Fungsinya, hanya sebagai
aksesori seni sehingga yang diperlukan hanyalah baluse yang tahan benturan, air
dan perubahan udara.
“Sudah kami
uji dengan memukulkan parang kayu yang biasanya digunakan saat pertunjukkan dan
hasilnya tahan. Ini sangat bergantung pada saat pengeringan baluse dalam
cetakan. Mengeringkan sampel di bawah matahari langsung jauh lebih baik. Kami
sudah coba mengeringkan dengan menggunakan panas dari api, tetapi hasilnya,
baluse cepat rapuh,” ujar Firman.
Saat ditanya
tentang orisinalitas hasil karya ini, Firman dan ketiga siswa bimbingannya
tersebut memastikan bahwa baluse dari baki telur merupakan penemuan
mereka. Untuk itu mereka juga berharap agar hasil penelitian mereka ini bisa
dikembangkan dan bermanfaat, terutama dalam dunia seni tari tradisional Nias.
Sebagai
pemenang pertama, Diva dan kawan-kawan akan kembali mempresentasikan baluse
berbahan baki telur pada puncak peringatan Hari Guru 2014 Kota
Gunungsitoli pada 28 November 2014.
Memunculkan
Ide Kreatif
Tidak hanya
Diva dan kawan-kawan, dari 18 kelompok peserta yang berkompetisi pada lomba ini
juga memunculkan penelitian-penelitian baru. Misalnya pemenang kedua, siswa SMP
Negeri 7 Gunungsitoli yang memperkenalkan pemanfaatan kulit pisang raja untuk
membuat cuka.
Caranya
dengan mencampur rebusan irisan kulit pisang raja dengan ragi dan gula. Proses
fermentasi berlangsung sekitar dua minggu. Berdasarkan uji coba peneliti, cuka
dari kulit pisang raja ini aman dikonsumsi.
Adalagi
pemanfaatan campuran ekstrak daun pepaya sebagai pestisida alami oleh siswa SMP
Swasta Lentera Harapan Gunungsitoli Utara yang meraih juara tiga. Dalam hal
ini, daun pepaya dicampur dengan daun sirsak dan biji jarak.
Kemudian, di tempat keempat ada siswa SMP Negeri 2 Gunungsitoli Idanoi yang memaparkan tentang “Pengaruh Penggunaan ID Card terhadap Kesadaran Siswa dalam Menjaga Sanitasi di Lingkungan SMP Negeri 2 Gunungsitoli Idanoi”.
Kemudian, di tempat keempat ada siswa SMP Negeri 2 Gunungsitoli Idanoi yang memaparkan tentang “Pengaruh Penggunaan ID Card terhadap Kesadaran Siswa dalam Menjaga Sanitasi di Lingkungan SMP Negeri 2 Gunungsitoli Idanoi”.
Penelitian
bertema sosial ini cukup menarik karena memberikan hukuman secara moral kepada
siswa saat melanggar aturan kebersihan tanpa perlu menggunakan kekerasan fisik.
Menurut peneliti, hasilnya ampuh mengurangi jumlah siswa yang tidak peduli
terhadap kebersihan.
Penelitian
sosial berikutnya berada di peringkat ke-5, oleh siswa SMP Negeri 5
Gunungsitoli. Mereka mengangkat topik tentang upaya peningkatan kesadaran dalam
menjaga kebersihan di sekolah tersebut.
Penelitian
lainnya juga cukup menarik. Akan tetapi, lemahnya landasan teori ataupun
pembuktian menjadi alasan bagi ketiga dewan juri yang terdiri dari Pdt. Ria Zebua,
Dra. Berliana S. Waruwu, M.Si, dan Siari Gulõ, M.Pd untuk tidak memilih karya
tersebut masuk 5 besar. Padahal, Berliana mengungkapkan, bahwa para dewan juri
sempat kesulitan memilih siapa yang layak juara.
Karya ilmiah
tersebut, antara lain Perkedel dari Bonggol Pisang karya siswa SMP Negeri 3
Gunungsitoli dan Pemanfaatan Akar Tuba Menjadi Insektisida Organik Nabati oleh
siswa SMP Negeri 3 Gunungsitoli Utara. Karya Ilmiah para siswa ini tentu sayang
jika dibiarkan begitu saja. Perlu perhatian yang serius baik dari pihak
sekolah, Dinas Pendidikan atau instansi terkait lainnya untuk mengembangkan
penelitian tersebut.
Melalui
lomba seperti ini, semakin terlihat bahwa kemampuan para pelajar SMP di
Gunungsitoli dalam menciptakan karya baru patutlah diperhitungkan. Mungkin saja
kendalanya terletak pada kemauan, motivasi, sarana dan prasarana, serta
tindakan sesudah penelitian.
Jika saja
penelitian para siswa di Gunungsitoli ini didukung oleh semua pihak, pasti akan
bermunculan peneliti-peneliti muda baru yang akan semakin mengharumkan nama
Gunungsitoli.
- See more
at:
http://www.nias-bangkit.com/2014/11/baluse-dari-baki-telur-menangi-lomba-karya-ilmiah/#sthash.b9Yd2Z3O.dpuf

Tidak ada komentar:
Posting Komentar